Ketentuan Pendirian Koperasi Modal Usaha Menurut Hukum Islam
Ketentuan Pendirian Koperasi Modal Usaha Menurut Hukum Islam
Untuk mendirikan sebuah usaha, terkadang kita kesulitan untuk memperoleh modal. Sementara modal sendiri belum cukup karena masih terlalu minimal. Salah satu solusinya adalah mencari mitra kerjasama. Mitra ini tidak harus berupa lembaga penyandang dana, akan tetapi bisa juga dengan teman atau kenalan, yang punya maksud dan tujuan yang sama guna mendirikan usaha.
Cara mengorganisasikannya adalah dengan jalan a) menyepakati jenis dan bidang usaha yang hendak digarap, b) melakukan perencanaan bersama terhadap kebutuhan modal usaha, c) menuangkan perencanaan itu dalam bentuk master plan, d) mengajak mitra yang lain yang hendak ikut, dan e) menyusun manajemen yang matang, dan baru setelah itu langsung f) action.
Kepatuhan terhadap master plan usaha yang sudah disusun merupakan kunci sukses dalam bermitra. Ketidakpatuhan terhadap rancangan dan rencana usaha, tanpa adanya koordinasi dan konsolidasi sesama anggota merupakan pangkal dari kegagalan. Inilah yang dinamakan sebagai kemitraan. Kita sering menyebutnya juga sebagai Koperasi Modal Usaha. Mengapa? Karena koperasi itu berdiri dengan basis urun modal dari anggotanya.
Akad kemitraan yang berbasis modal sebagaimana digambarkan di atas, dalam istilah fikih dikenal sebagai syirkah ‘inan. Berikut ini ketentuan pendirian koperasi modal usaha dalam hukum Islam.
Di dalam Kitab Kifayah al-Akhyar, Syeikh Taqiyuddin al-Husny memberikan ilustrasi mengenai syirkah ‘inan ini sebagai berikut:
وَهِي مَأْخُوذَة من عنان الدَّابَّة لِاسْتِوَاء الشَّرِيكَيْنِ فِي ولَايَة الْفَسْخ وَالتَّصَرُّف وَاسْتِحْقَاق الرِّبْح على قدر المَال كاستواء طرفِي الْعَنَان
“Akad kemitraan ini mengambil perumpamaan berupa tali kekang kuda, karena samanya hak dari dua orang mitra untuk melakukan pembatalan akad, melakukan pengelolaan harta, atau hak menerima pembagian keuntungan menurut kadar harta yang diikutsertakan, sebagaimana samanya fungsi dua ujung tali kekang.” (Syeikh Taqiyuddin al-Husny, Kifayatul Akhyar fi Hilli Ghayati al-Ikhtishar, halaman 270)
Jadi, dalam syirkah ‘inan, semua anggota yang terlibat memiliki hak yang sama terhadap koperasi yang didirikan. Ia berhak membatalkan akad dan keluar dari perserikatan yang sudah terbentuk, lalu mendapatkan ganti rugi atas penyertaan modal yang dimilikinya. Dalam hal ini sudah pasti ada mekanisme organisasi yang harus dilalui. Tidak boleh sembarangan keluar lalu koperasinya bubar. Butuh sebuah manajemen untuk mengantisipasinya.
Jika masih menyatakan diri terlibat dalam koperasi, maka ia berhak mendapatkan akad bagi hasil menurut nisbah modal yang disertakannya. Demikian pula, ia berhak untuk ikut serta dalam pengelolaan, selagi koperasi itu memberinya tugas dan wewenang. Sudah pasti, sistem kerjanya harus mengikut pada arahan pihak manajemen. Karena bagaimanapun juga manajemen dibentuk adalah atas dasar untuk diikuti dan bukan sebaliknya.
Bukankah dia punya andil penyertaan modal? Terkadang kita sering menghadapi pemodal yang suka ngeyel semacam. Sudah barang tentu jawabnya adalah segala sesuatu harus ditempatkan menurut posisi masing-masing. Ketika bicara kerja, maka harus mengikut manajemen organisasi yang sudah disepakati. Namun, jika bicara masalah modal dan pembagian keuntungan, maka adanya adalah di rapat anggota koperasi. Inilah pentingnya memperhatikan organisasi dan perlunya kesadaran menempatkan diri sesuai kondisi, peran dan fungsi masing-masing.
Lantas Apa Syarat yang harus dipatuhi dalam mendirikan Koperasi Modal Usaha itu?
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, agar perjalanan Koperasi Modal Usaha ini sesuai dengan prinsip fikih sehingga kegiatan usahanya dipandang sah. Kalau fikih sudah menyatakan sah, maka besar kemungkinan, tidak ada gegeran di belakang harinya dalam perjalanan usaha. Namun, sebaliknya jika fikih sudah memandang suatu akad sebagai tidak sah, apalagi batil, maka besar kemungkinan ada potensi khasmah (perselisihan) yang rawan terjadi.
Syarat yang harus dipenuhi bagi perjalanan akad syirkah ‘inan (koperasi modal usaha) ini ada 5, yaitu:
Pertama, berkaitan dengan modal. Syariat Islam telah menggariskan:
أَن تكون على ناض من الدَّرَاهِم وَالدَّنَانِير وَالْإِجْمَاع مُنْعَقد على صِحَّتهَا فِي الدَّرَاهِم وَالدَّنَانِير نعم فِي جَوَازهَا على المغشوشة وَجْهَان أصَحهمَا فِي زِيَادَة الرَّوْضَة الْجَوَاز أَيْضا الثَّانِي لَا كالقراض ثمَّ هَذَا لَا يخْتَص بِالدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِير بل يجوز عقد الشّركَة على مثلي فَتَصِح فِي الْقَمْح وَالشعِير وَنَحْوهمَا لِأَن الْمثْلِيّ إِذا اخْتَلَط بِجِنْسِهِ ارْتَفع التَّمْيِيز فَأشبه النَّقْدَيْنِ
Artinya:
Modal hendaknya disertakan dalam bentuk uang kontan yang terdiri dari mata uang dirham atau dinar. Para ulama sepakat bahwa sahnya modal yang diikutsertaan dalam syirkah adalah terdiri dari dirham dan dinar saja. Adapun terhadap modal yang terdiri dari barang berlapis emas dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama, yang paling shahih (ashah) menyatakan boleh, sebagaimana disampaikan oleh Imam Nawawi dalam Kitab Ziyadati al-Raudlah.
Pendapat kedua menyatakan tidak sebagaimana akad qiradl (yang harus berupa modal berupa uang kontan). Akad syirkah tidak harus dengan uang cash berupa dirham dan dinar, namun boleh juga dilaksanakan dengan basis modal berupa barang yang jenisnya sama.
Jadi, sah melakukan akad syirkah dengan basis modal berupa gandum, sya’ir, dan sejenisnya, karena suatu barang dengan jenis tertentu ketika dicampurkan dengan barang lainnya yang sejenis, maka hilanglah sifat bisa dibedakannya. Dengan demikian barang itu seolah serupa dengan nuqud” (Syekh Taqiyuddin al-Husny, Kifayatul Akhyar fi Hilli Ghayati al-Ikhtishar, halaman 270)
Kedua, modal itu harus memiliki macam dan jenis yang sama, sebagaimana telah disampaikan di atas. Lebih tegasnya, Syekh Taqiyuddin al-Husny menyatakan sebagai berikut:
أَن يتَّفقَا فِي الْجِنْس فَلَا تصح الشّركَة فِي الدَّرَاهِم وَالذَّهَب وَكَذَا فِي الصّفة فَلَا تصح فِي الصِّحَاح والمكسرة للتمييز فيهمَا
“Jika modal itu berangkat dari jenis yang sama. Tidak sah melakukan akad kemitraan dengan modal terdiri atas percampuran dirham dan emas. Demikian pula dalam hal sifat modal, adalah tidak sah mencampurkan jenis barang yang utuh dengan jenis barang yang pecah karena bisanya dibedakan.” (Syeikh Taqiyuddin al-Husny, Kifayatul Akhyar fi Hilli Ghayati al-Ikhtishar, halaman 270)
Ketiga, modal itu harus dicampur dengan batasan bahwa barang hasil penyampuran itu tidak lagi dapat dibedakan. Jika masih bisa dibedakan, maka akad syirkah itu dianggap sebagai tidak sah dalam Madzhab Syafii.
وَيشْتَرط فِي الْخَلْط أَن لَا يبْقى مَعَه تَمْيِيز وَيَنْبَغِي أَن يتَقَدَّم الْخَلْط على العقد وَالْإِذْن
“Disyaratkan penyampuran modal sehingga tidak ada lagi peluang pembedaan antara satu sama lainnya. Dan alangkah baiknya penyampuran ini sudah disampaikan saat akad dan adanya idzin.” (Syekh Taqiyuddin al-Husny, Kifayatul Akhyar fi Hilli Ghayati al-Ikhtishar, halaman 270)
Keempat, adanya idzin dari sesama mitra untuk melakukan pengelolaan. Yang pasti dalam hal ini adalah berada di bawah kendali manajemen. Manajemen ini adalah ibarat wakil bagi pihak mitra lainnya selaku penyerta modal.
تصرف الشَّرِيك كتصرف الْوَكِيل
“Tasharrufnya mitra kerja, adalah menduduki tasharufnya wakil.”
Kelima, keuntungan yang didapatkan dibagi menurut nisbah modal yang disertakan oleh peserta.
أَن يكون الرِّبْح على قدر الْمَالَيْنِ سَوَاء تَسَاويا فِي الْعَمَل أَو تَفَاوتا لِأَنَّهُ لَو جعلنَا شَيْئا من الرِّبْح فِي مُقَابلَة الْعَمَل لاختلط عقد الْقَرَاض بِعقد الشّركَة وَهُوَ مَمْنُوع
“Hendaknya keuntungan dibagi menurut nisbah modal terkumpul, baik keuntungan itu diperoleh dari hasil kerja yang sama, atau berbeda. Karena membagi keuntungan berdasarkan pekerjaan akan menjadikan rancaunya akad, antara akad qiradl dengan akad syirkah. Oleh karenanya, hal itu harus dihindari.”
Maksud dari syarat kelima ini adalah bahwa sistem pembagian keuntungan tetap dibagi menurut nisbah modal. Adapun berat-ringannya soal pekerjaan yang dilakukan guna menghasilkan keuntungan, dihitung menurut sistem penggajian (ujrah) sebagai bagian dari proses produksi. Sisa hasil usaha dikurangi pengeluaran karena proses produksi adalah keuntungan yang wajib dibagi menurut nisbah modal yang disertakan.
Demikianlah syarat dan ketentuan yang berlaku dalam pembentukan Koperasi Modal Usaha atau yang biasa dikenal sebagai akad syirkah ‘inan. Semoga bermanfaat!
sumber: https://bincangsyariah.com/