Koperasi Mitra Usaha Menurut Pendapat Ulama Empat Mazhab

koperasi mitra usaha

Koperasi Mitra Usaha Menurut Pendapat Ulama Empat Mazhab

Tahukah Anda, apa itu koperasi mitra usaha? Dilihat dari namanya saja, sebenarnya kita sudah sering mendengarnya dan barangkali juga mengimajinasikannya. Usaha sering dimaknai juga sebagai kerja profesi yang membutuhkan profesionalitas dari seorang individu (abdan) untuk dinilai dan dijadikan mitra. 

Kumpulan dari orang-orang yang memiliki profesi sama atau bahkan mungkin berbeda, untuk membentuk serikat atau kemitraan dalam rangka mencapai tujuan yang sama, adalah termasuk kategori dari serikat usaha. Jika hal itu diwujudkan dalam bentuk instansi, maka instansi itu adalah nama lain dari Koperasi Mitra Usaha. Yang dibutuhkan adalah kerjasamanya. Kerjasama ini nama lainnya adalah kemitraan. Fikih membahasakannya sebagai syirkah. Kemitraan berbasis profesionalitas ini adalah konsepsi modern dari syirkah abdan.

Menurut konsepsi hukum Islam, kemitraan berbasis profesionalitas atau syirkah abdan didefinisikan sebagai berikut:

وهي أن يشترك إثنان أو أكثر بعمل أبدانهما، وليس فيها رأس مال، وتسمى أيضاً شركة الصنائع لأن رأس مالهما صنعتهما، وشركة التقبل لأنهما يشتركان في تقبل العمل، وشركة الأعمال لأنها مشاركة أعمال

“Yaitu jika ada dua pihak atau lebih, saling bekerjasama atas dasar kerja individu anggota, tanpa keberadaan modal pokok yang disertakan. Syirkah semacam kadang disebut juga sebagai serikat produksi, karena yang dijadikan modal usaha adalah produktifitas usahanya itu. Juga kadang disebut sebagai syirkah taqabbul karena dua pihak yang saling berserikat sama-sama menerima atas pekerjaan mitra lainnya. Disebut juga dengan serikat kerja, karena mereka bersama-sama dalam menanggung kerja.” (Majmu’atun mina al-Muallifin, Mausu’ah Fiqh al-Mu’amalat, Tanpa Kota, Mauqi’u al-Islam, Tanpa Tahun, Juz 1, halaman 512)

Hukum dari melakukan serikat semacam ini, adalah boleh menurut kalangan Malikiyah, Hanafiyah dan Hanabilah. Adapun kalangan Syafiiyah menyatakan bahwa syirkah abdan adalah jenis akad kemitraan yang bathil. Alasan dari kalangan Syafiiyah ini adalah:

وخالف الشافعية فذهبوا إلى أنها شركة باطلة لأن الشركة تنبئ عن الاختلاط وهو شرط لجوازها ولا يقع الاختلاط إلا في الأموال , ولا يتحقق الاختلاط بالأموال في شركة الأعمال

“Kalangan Syafiiyah berbeda pendapat dengan tiga madzhab yang lain tentang kebolehan akad syirkah abdan. Kalangan ini berpendapat bahwa syirkah abdan adalah syirkah yang bathil. Syirkah hanya bisa dilakukan melalui akan penyertaan modal. Dan penyertaan ini merupakan syarat kebolehan setiap akad syirkah. Dan tidak ada yang dinamakan sebagai modal selain berupa harta. Sementara dalam syirkah amal (syirkah abdan), unsur penyertaan modal berupa harta itu tidak ada sama sekali.” (Majmu’atun mina al-Muallifin, Mausu’ah Fiqh al-Mu’amalat, Tanpa Kota, Mauqi’u al-Islam, Tanpa Tahun, Juz 1, halaman 512)

Ada alasan lain yang turut disampaikan oleh kalangan Syafiiyah ini, yaitu bahwa keberadaan modal itu penting bagi proses niaga. Dan ini merupakan inti dari usaha pengembangannya (istinma’). Jadi, bila tidak ada modal, lantas apa yang mau dikembangkan? Sudah pasti di dalamnya akan sering timbul gharar (penipuan) yang berisiko lahirnya perselisihan (‘udwan). Karena bagaimanapun juga, suatu kerja (amal) merupakan hal yang bersifat intrinsik, sehingga sulit diukur atau ditetapkan kadar batasannya. Hal ini akan banyak melahirkan illat keharaman lain berupa unsur ketidaktahuan (majhul) anggota satu terhadap kinerja anggota yang lain.

Adapun terhadap alasan bahwa syirkah abdan ini didasarkan atas pencampuran amal atau kinerja individu, kalangan Madzhab Syafii menolaknya dengan tegas bahwa suatu amal individu dengan individu lainnya tidak mungkin disatukan. Mereka tetap dibelenggu oleh jasmani masing-masing sehingga bisa dibedakan. Illat bisanya dibedakan ini, menjadikan serikat usaha ini ditolak dalam satu sisi.

Bagaimana dengan alasan para ulama yang membolehkannya?

Adalah kalangan Malikiyah dan Hanabilah, mereka mengambil dasar dalil kebolehan akad serikat usaha ini berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu:

اشتركت أنا و سعد و عمار يوم بدر فلم أجيء أنا و عمار بشيء وجاء سعد بأسيرين , وقد أقرهم النبي صلى الله عليه وسلم على اشتراكهم في الأسرى وهم إنما استحقوا ذلك بالعمل

“Aku bekerjasama dengan Sa’ad dan ‘Ammar di hari terjadinya Perang Badar. Namun, aku dan Ammar tidak mampu mendatangkan sesuatu apapun berupa budak tawanan. Namun Sa’ad berhasil membawa dua orang tawanan. Lalu beliau Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan keputusan perkara ketiga orang ini berdasar akad janji kebersamaan mereka dalam mendapatkan tawanan. Dan ketiganya dinilai sama-sama memiliki andil berupa amal (kinerja).” (Majmu’atun mina al-Muallifin, Mausu’ah Fiqh al-Mu’amalat, Tanpa Kota, Mauqi’u al-Islam, Tanpa Tahun, Juz 1, halaman 513)

Adapun kalangan Ulama’ Hanafiyah ber-istidlal (mengambil dalil) berupa keumuman praktik tradisi masyarakat perkotaan yang belum ada yang menyangkal, bahkan tak satupun dari kalangan fuqaha yang menyatakan ketidakbolehannya.

Menurut al-Kasany, salah satu ulama’ kalangan Hanafiyah, menyatakan bahwa esensi dari dari disyariatkannya syirkatu al-amwal (serikat harta) adalah untuk pengembangan harta (litanmiyati al-amwal). Adapun syirkatu al-abdan, adalah justru untuk menghasilkan ashl al-mal (pokok harta). Selanjutnya ia menyampaikan:

والحاجة إلى تحصيل المال فوق الحاجة إلى تنميته , فلما شرعت لتحصيل الوصف فلأن تشرع لتحصيل الأصل أولى

“Hajat kebutuhan untuk mendapatkan harta, adalah lebih unggul dibanding hajat kebutuhan akan pengembangannya. Karena, ketika Allah mensyariatkan agar menghasilkan sesuatu (berproduksi), maka syariat mewujudkan modal produksi adalah justru lebih utama (aula).” (Majmu’atun mina al-Muallifin, Mausu’ah Fiqh al-Mu’amalat, Tanpa Kota, Mauqi’u al-Islam, Tanpa Tahun, Juz 1, halaman 514)

Jadi, dalam konteks ini, al-Kasany memakai peran qiyas aulawi, yaitu pertimbangan (analogi) terhadap peran amal yang lebih utama dibanding sekedar pengembangan. Menciptakan tempat untuk melakukan pengembangan adalah lebih utama dibanding usaha pengembangan itu sendiri. Karena adanya cabang adalah sebab adanya ashal (pokok). Tidak ada ashal, maka tidak ada pula pokok. Wallahu a’lam bi al-shawab

sumber: bincangsyariah

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel