Kemitraan Produsen-Konsumen dalam Peningkatan Omzet Menurut Islam
Kemitraan Produsen-Konsumen dalam Peningkatan Omzet Menurut Islam
Serikat permodalan, merupakan pola kemitraan antara dua atau lebih pemilik modal untuk mendirikan sebuah usaha guna mendapatkan keuntungan yang dibagi secara bersama-sama menurut nisbah modal yang dimilikinya. Kemitraan semacam ini, dalam hukum Islam, dikenal sebagai syirkah ‘inan. Para ulama secara ijmak menghukuminya boleh disebabkan inti kemitraan adalah penyampuran modal usaha, sehingga tidak bisa dibedakan lagi mana modal milik Si A, atau Si B. Modal keduanya dikumpulkan dengan atas nama modal serikat.
Serikat Modal Usaha, merupakan pola kerjasama antara dua atau tiga orang lebih profesional, untuk melakukan usaha dan mendapatkan keuntungan yang dibagi secara bersama-sama berdasar kesepakatan yang dibentuk pada awal pendirian. Kemitraan semacam ini, dicirikan dengan ketiadaan modal usaha berupa harta, melainkan kinerja perorangan. Ulama’ kalangan madzhab Syafii menyatakan hukumnya batil. Sementara tiga madzhab lainnya menghukuminya sebagai boleh.
Kemitraan yang akan kita kaji kali ini adalah kemitraan antara produsen dan konsumen. Fokus dari akad kemitraan ini adalah guna memperbesar omzet penjualan produk sehingga besar pula keuntungan yang didapat oleh perusahaan atau produsen dan sekaligus konsumen.
Umumnya, akad kemitraan ini dicirikan oleh upaya menguasai pasar dan menciptakan ketergantungan mereka terhadap produk. Karena ada upaya konsentrasi strategi penguasaan ini, maka kemitraan ini juga dikenal sebagai akad kemitraan wujuh, atau syirkah wujuh. Ciri khasnya, semakin banyak produk terjual, maka itu tandanya produk tersebut diterima luas oleh masyarakat. Dan itu adalah indikasi akseptabilitas produk juga tinggi. Bolehkah? Sudah pasti boleh, karena hukum asal muamalah adalah boleh asalkan tidak dimaksudkan untuk memonopoli (ihtikar) sehingga timbul kezaliman.
Dengan akseptabilitas yang tinggi, produsen mampu menguasai pasar dan menciptakan ketergantungan pada konsumen pembelinya. Sebagai imbasnya, produknya sulit digantikan oleh produk sejenis yang lain. Alhasil, akad kemitraan produsen-konsumen semacam ini pada dasarnya adalah bagian dari strategi marketing produk.
Bahkan, terkadang untuk menarik agar pedagang semakin aktif dalam menawarkan dagangan yang dipasarkannya kepada konsumen pembelinya, maka ditawarkanlah bonus. Misalnya, jika kamu bisa menjual barang ini sebanyak 2 kemasan, maka aku berikan bonus gratis 1 kemasan. Beli 2, gratis 1. Demikianlah bagian dari strategi itu yang sering kita kenal.
Bagaimana Islam memandang akad kemitraan jenis ini? Apakah syariat membolehkan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, pada dasarnya kita diarahkan pada dua hal sebagai pertimbangan. Pertama, memandang hukumnya dari sisi akad kemitraan. Kedua, memandangnya dari sisi strategi penjualan. Dua-duanya berbeda dari sisi imbas hukumnya.
Jika kita menimbangnya dari sisi akad “kemitraan”-nya (syirkah), maka kita perlu ingat bahwa syarat pokok terjadinya kemitraan (syirkah), adalah wajib adanya modal bersama yang dicampurkan lalu diperjuangkan bersama agar mendapat keuntungan. Nah, dalam kemitraan produsen-konsumen ini, apakah modal usaha itu diperoleh dari kedua pelaku, ataukah hanya dari satu sisi saja, yaitu produsen?
Sudah pasti jawabnya adalah dari satu sisi saja, yaitu produsen (pabrik). Adapun konsumen, ia hanya bertugas membantu penjualan saja. Kita bicara konsumen di sini, maksudnya adalah konsumen tingkat 1, ya? Artinya, mereka adalah terdiri dari pedagang retail, grosir, atau eceran. Kalau masyarakat selaku pengguna langsung produk? Oh.. Itu kita sebut saja sebagai konsumen tingkat 2. Jadi, jelas, ya? Jangan sampai keliru mendudukkannya.
Dilihat dari sisi asal modalnya, jelas bahwa modal itu diperoleh dari produsen saja. Jadi, konsumen tingkat 1, sama sekali tidak keluar modal. Ia hanya berbekal reputasi (jah) yang dimilikinya, sehingga dipercaya oleh produsen untuk menjualkan produk.
Selanjutnya, bagaimana dengan pola pembagian keuntungan? Keuntungan sudah pasti berhubungan dengan banyaknya penjualan. Semakin banyak ia menjual, semakin besar pula keuntungan yang ia peroleh. Demikian sebaliknya, semakin sedikit ia menjual produk, semakin sedikit pula pendapatannya. Akad berbasis prestasi penjualan semacam ini, dikenal sebagai akad ju’alah (sayembara).
Bagaimana dengan bonus yang diberikan perusahaan kepadanya? Selagi bonus itu masih berkaitan dengan prestasi positif penjualan, maka bonus (ja’lu) itu hukumnya adalah boleh. Yang tidak boleh adalah jika bonus itu diperoleh bukan berasal dari prestasi penjualan, tapi hanya semata berorientasi pada mencari anggota saja. Atau ada produk, tapi produknya tidak layak jual. Fokusnya hanya berorientasi pada bonus. Kita sering mengenalnya sebagai money game yang dibungkus MLM (Multi Level Marketing).
Lho, kalau begitu, berarti MLM itu nggak boleh? Ya, tidak begitu maksudnya. Di sini kita konsentrasi pada pertimbangan strategi pemasaran. MLM itu tetap boleh, asal prestasinya itu berbasis pemasaran produk. Dengan demikian, syarat utama MLM itu sah, ya produknya harus layak jual. Jika produknya tidak layak jual, tapi hanya mencari anggota saja, maka itu sebenarnya letak keharamannya, disebabkan adanya unsur gharar (menipu), ghabn (mengelabui), dan sudah pasti dlarar (merugikan pihak lain).
Kalau begitu, bagaimana dengan akad kemitraan produsen-konsumen di atas? Apakah sah secara fikih? Jawabnya sebenarnya mudah. Karena ketiadaan modal yang disertakan secara bersama-sama, maka akad ini tidak cocog bila dimaknai sebagai kemitraan yang dalam Bahasa Arabnya disebut sebagai syirkah. Karena syirkah itu mewajibkan adanya modal yang harus dicampurkan secara bersama-sama dan kerjasama dalam pencapaian target keuntungan.
Oleh karenanya, jika dinilai sebagai akad kemitraan – syirkah, maka menurut Madzhab Syafii, hukumnya adalah jelas dipandang sebagai syirkah yang fasidah (rusak). Namun, Imam Malik memasukkannya sebagai kelompok syirkah wujuh dan memandangnya sah.
Lho, apakah Imam Malik dan Imam Syafii berbeda tingkatannya dalam pemahaman hukum Islam? Ya, tidak juga. Beliau berdua hanya berbeda dalam mengklasifikasikan hukumnya akad kerjasama itu dilihat dari sisi obyek modalnya. Imam Malik menyatakan bahwa reputasi itu adalah termasuk bagian dari harta manfaat sehingga bisa disebut sebagai modal.
Adapun Imam Syafii, menurut beliau, reputasi (jah) itu bukan harta manfaat sehingga tidak bisa disebut modal. Yang namanya modal itu ya harus harta, dan berupa uang cash. Sementara Imam Malik menyatakan, tidak harus berupa harta wujud semacam uang cash. Cukup dengan reputasi saja itu sudah termasuk bagian dari modal. Jadi, jelas, ya? Jangan sampai keliru lagi!
Perbedaan dalam memandang reputasi sebagai harta dan tidak, membawa konsekuensi pada akad. Menurut Imam Malik, kerjasama produsen-konsumen di atas, adalah masuk kategori syirkah. Adapun menurut Imam Syafii, itu bukan syirkah, tapi wakalah (perwakilan).
Fuqaha’ modern menyebutnya wakalah bi al-ju’li, yaitu akad mewakilkan dengan upah berupa banyaknya omzet penjualan. Bisa juga, akad tersebut dimasukkan sebagai kelompok akad ju’alah (sayembara).
Singkatnya, jika akad kemitraan produsen-konsumen di atas, dimasukkan dalam akad syirkah, maka Imam Syafii menyatakan tidak sah disebabkan karena alasan tidak memenuhi kriteria harta modalnya. Namun, jika dipandang sebagai bagian strategi marketing (penjualan), maka madzhab Syafii menghukuminya boleh sebab akad wakalah itu.