Kisah Polemik Mengaji Sifat 20 di Medan dan Bukittinggi di Awal Abad ke-20
Kisah Polemik Mengaji Sifat 20 di Medan dan Bukittinggi di Awal Abad ke-20
Dalam beberapa kesempatan, saya banyak mendapatkan pertanyaan dan bahkan pernyataan bahwa mengaji sifat 20 yang sudah menjadi kegiatan wajib seorang muslim, bukan saja di Nusantara, tetapi di semua dunia Muslim, oleh beberapa orang dianggap bidah, sesat, dan tidak ada pada pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Pertanyaan dan pernyataan seperti ini juga dapat ditemukan di beberapa media sosial seperti Youtube dan sejenisnya.
Polemik mengaji sifat 20 ini di Nusantara sebenarnya sudah ada dan direkam dalam karya-karya ulama Nusantara. Diantaranya adalah 2 kitab berbahasa Jawi karya Syaikh Hasan Maksum di Medan dan Syaikh Janan Thaib Minangkabau yang berasal dari Bukittinggi. Karya Syaikh Hasan Maksum berjudul Tanqih al-Zhunun ‘an Masa’il al-Maimun; Pada Menyatakan Wajib Percaya Dengan Ulama dan Kitabnya; Hukum Nikah Tahlil (Cina Buta); Berdiri Barzanji; Membaca Alquran Dengan Tiada Tahu Bahasanya; Mengaji Sifat 20; Talqin; Hukum Melafalkan Niat Sembahyang. Sementara kitab karya Syaikh Janan Thaib berjudul Al-Muqmi’ah al-Dhikham fi al-Radd ala Man Ankara Ilm al-Kalam.
Kedua kitab ini sama-sama merekam data sejarah tentang adanya sekelompok aliran keagamaan di Nusantara pada tahun 1340 H/ 1921 M yang menganggap belajar sifat 20 bagian dari perbuatan bidah dan sesat, sehingga ulama tersebut membantahnya dalam sebuah kitab khusus.
1. Syaikh Hasan Maksum Medan
Dalam karya tersebut, Syaikh Hasan Maksum menjelaskan dalam mukadimah kitab bahwa pada pada tahun 1340 H ada sekelompok masyarakat Mandailing di Sungai Rampah Bedagai (Sungai Ular atau Sei Rampah) yang berguru kepada seorang ulama bernama Syaikh Mahmud al-Khayyat. Beliau mempunyai 7 pandangan keagamaan tertentu dan bahkan mempersoalkan pandangan keislaman yang sudah diterima saat itu. Ketujuh pandangan tersebut menyalahi pendapat-pendapat dalam mazhab Syafi’i yang sudah diberlakukan di Nusantara.
Pandangan-pandangan tersebut sampai kepada Sultan Deli saat itu, Sultan Makmun al-Rasyid Perkasa Alamsyah, sehingga ia memerintahkan para pejabat dan ulama agar membuat sidang guna membahas persoalan-persoalan tersebut menurut Mazhab Syafi’i di Istana Maimun. Hasil sidang tersebut memuat bahwa pandangan-pandangan keagamaan yang disebutkan Syaikh Mahmud al-Khayyat tidak dibenarkan. Syaikh Hasan Maksum dalam sidang tersebut mewakili kesultanan. Hasil perdebatan tersebut dibukukan oleh penulisnya dalam bentuk kitab ini.
Pembahasan tentang mengaji sifat 20 ada pada halaman 48-53. Menurut beliau, memang istilah ini tidak ada pada masa nabi saw. Tetapi bukan berarti ilmu ini tidak ada, sebab nabi dan sahabatnya langsung memahami dalil-dalil tersebut, dimana mereka menyaksikan turunnya ayat ataupun hadis secara langsung. Istilah ilmu ini lahir, sebab masa setelahnya banyak lahir aliran dan kelompok yang menyimpang, seperti muktazilah dan lainnya, sehingga diperlukan pembuatan ilmu ini dalam bentuk kaidah dan keilmuan yang baku.
2. Syaikh Janan Thaib Bukittinggi
Syaikh Janan Thaib adalah orang Indonesia pertama yang menerima gelar tertinggi (‘aalamiyyah) di Universitas Al-Azhar. Terkait dengan bantahannya terhadap sebuah karya yang melarang belajar sifat 20, dalam mukadimah kitabnya, Syaikh Janan Thaib menjelaskan alasan penulisan karya ini bahwa pada tahun 1340 H. Beliau menuliskannya saat sedang berada di Mesir sebagai santri di Al-Azhar.
Beliau menerima sebuah kitab dalam bentuk nazham (syair) dari Minangkabau karya Syaikh Muhammad Karim Sumpur. Kitab itu Muhammad Karim Sampur mengatakan bahwa mempelajari mempelajari sifat 20 hukumnya teralarangnya dan dianggap bidah seperti yang disebutkan pada kitab sebelumnya. Oleh karenanya, Syaikh Janan Taib membuat kitab ini dan membantah setiap tulisan Syaikh Karim Sampur.
Dua Ulama Besar
Kedua ulama Nusantara tersebut adalah ulama besar. Syaikh Hasan Maksum belajar di Mekkah kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau selama 21 tahun. Dapat dibayangkan bahwa waktu tersebut merupakan waktu penuh seorang murid belajar kepada gurunya, dimana ia belajar semenjak gurunya tersebut masih muda sampai meninggal. Sebab, Syaikh Hasan Maksum kembali ke tanah air pada tahun 1334 H/ 1916 M, tahun dimana gurunya meninggal dunia.
Pujian gurunya kepada beliau terlihat jelas di akhir lampir endorsment (taqrizh) kitab Syaikh Hasan Maksum tentang bantahannya atas pendapat Syaikh Abdul Karim Amrullah, ayah Buya Hamka terkait mengucapkan ushalli. Sebagian ada yang keliru dalam polemik ini, bahwa polemiknya antara beliau dengan Buya Hamka. Kekeliruan tersebut bahkan sampai terjadi di tingkat akademik tertinggi dan telah disidangkan. Alhamdulillah setelah diberitahu, penulisnya akhirnya merevisi kembali.
Selain gurunya asal Minangkabau, pujian juga berasal dari Syaikh Abdul Qadir Mandailing, dimana gurunya tersebut memujinya di depan jamaah di Medan ketika beliau melakukan kunjungan ke kota tersebut di rumah Syaikh Muhammad Yaqub pada tahun 1925 M. Beliau mengatakan bahwa “Deli ini telah kejatuhan sebutir bintang yang gilang-gemilang. Akan tetapi penduduk belum mengetahuinya. Tambah lama bintang zahra tersebut semakin memancarkan sinarnya. Dan mudah-mudahan dapatlah kerajaan Deli ini seorang pujangga Islam yang jarang didapati” yang menunjuk kepada sosok Syaikh Hasan Maksum.
Terbukti, tidak lama setelah itu, ia akhirnya dianggkat menjadi Imam Paduka Tuan kesultanan Deli. Dari beliau, lahir ulama-ulama besar generasi selanjutnya yang secara umum pendiri Al-Washliyah dan Ittihadiyah. Sebagian lain, termasuk ulama-ulama awal NU di tanah Mandailing.
Sedangkan Syaikh Janan Thaib adalah ulama asal Bukittinggi yang belajar di Mesir dan Mekkah. Aktivitasnya di Mesir sebagai ketua persatuan organisasi mahasiswa asal Nusantara yang dibentuk pada tahun 1924 M. Ketika di Mekkah juga mendirikan sekolah bagi pelajar Indonesia.
sumber: https://bincangsyariah.com/